A. Perlawanan sebelum tahun 1800
† Ditandai dengan perang/perlawanan langsung terhadap kekuasaan bangsa barat, dan juga ditandai dengan persaingan antara kerajaan – kerajaan Nusantara dalam memperebutkan hegemoni di kawasan tersebut.
Dalam persaingan tersebut kerajaan – kerajaan di Nusantara sering melibatkan bangsa barat untuk membantu mengalahkan pesaingnya. Kondisi inilah yang menyebabkan kegagalan dalam mengusir bangsa – bangsa barat dari nusantara.
Bentuk – bentuk perlawanan rakyat Indonesia :
1. Perlawanan Rakyat Maluku
Upaya rakyat Ternate yang dipimpin Sultan Hairun maupun Sultan Baabulah(1575), sejak kedatangan bangsa Portugis pada 1512 tidak berhasil, penyebabnya adalah tidak ada kerja sama antara kerajaan Ternate, Tidore, dan Nuku. Kekuatan Portugis hanya dapat diusir oleh kekuatan bangsa Belanda yang lebih kuat.
2. Perlawanan Rakyat Demak
Perlawanan ini dipimpin oleh Adipati Unus terhadap Portugis di Malaka. Serangan pasukan Adipati Unus dilakukan dua kali (1512 & 1513) mengalami kegagalan. Pada saat yang sama, penguasa kerajaan Pajajaran melakukan kerja sama dengan Portugis, setelah mendapat ancaman dari kekuatan Islam di pesisir utara pulau Jawa, yaitu Cirebon dan Banten.
3. Pelawanan Rakyat Mataram
Sultan Agung yang memiliki cita – cita mempersatukan pulau Jawa, berusaha mengalahkan VOC di Batavia. Penyerangan yang dilakukan pada 1628 & 1629 mengalami kegagalan, karena selain persiapan pasukannya yang belum matang, juga tidak mampu membuat blok perlawanan bersama kerajaan lainnya.
4. Perlawanan Rakyat Banten
Setelah Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putranya yang bergelar Sultan Haji sebagai Sultan Banten, Belanda ikut campur dalam urusan Banten dengan mendekati Sultan Haji. Sultan Agung yang sangat anti VOC, segera menarik kembali tahta putranya. Putranya yang tidak terima, segera meminta bantuan VOC di Batavia untuk membantu mengembalikan tahtanya, akhirnya dengan bantuan VOC, dia memperoleh tahtanya kembali dengan imbalan menyerahkan sebagian wilayah Banten kepada VOC.
5. Perlawanan Rakyat Makasar
Konflik antara Sultan Hasanuddin dari Makasar dan Arupalaka dari Bone, memberi jalan bagi Belanda untuk menguasai kerajaan – kerajaan Sulawesi tersebut. Untuk memperkuat kedudukannya di Sulawesi, Sultan Hasanuddin menduduki Sumbawa, sehingga jalur perdagangan Nusantara bagian timur dapat dikuasai. Hal ini dianggap oleh Belanda sebagai penghalang dalam perdagangan. Pertempuran antara Sultan Hasnuddin dengan Belanda yang dipimpin Cornelis Speelman selalu dapat dihalau pasukan Sultan Hasanuddin. Lalu Belanda meminta bantuan Arupalaka yang menyebabkan Makasar jatuh ke tangan Belanda, dan Sultan Hasanuddin harus menandatangani perjanjian Bongaya pada 1667, yang berisi :
a. Sultan Hasanuddin harus memberikan kebebasan kepada VOC berdagang di Makasar dan Maluku.
b. VOC memegang monopoli perdagangan di Indonesia bagian timur, dengan pusat Makasar.
c. Wilayah kerajaan Bone yang diserang dan diduduki Sultan Hasanuddin dikembalikan kepada Arupalaka, dan dia diangkat menjadi Raja Bone.
6. Pemberontakan Untung Surapati (1686 – 1706)
Untung Surapati bersekutu dengan Sunan Amangkurat II untuk melawan VOC. Untuk meredam pemberontakan Untung Surapati, VOC mengutus Kapten Tack ke Mataram, namun gagal. Sunan Amangkurat II berterima kasih kepada Untung Surapati dengan memberikan daerah Pasuruan dan menetapkannya menjadi Bupati di sana dengan gelar Adipati Wiranegara. Pada 1803 Sunan Amangkurat II meninggal dan digantikan oleh putranya yang bergelar Sunan Amangkurat III, pamannya yang bernama Pangeran Puger menginginkan tahta raja di Mataram. Dia kemudian bersekutu dengan VOC, dan kemudian membuat perjanjian dengan VOC, dengan menyerahkan sebagian wilayah kekuasaan Mataram. Pada 1705 Pangeran Puger dinobatkan menjadi Sunan Mataram dengan gelar Sunan Pakubuwana I, setelah itu dimulailah peperangan antara Sunan Pakubuwana I dengan Untung Surapati yang dibantu Sunan Amangkurat III. Pada 1706, VOC berhasil melumpuhkan Untung Surapati di Kartasura.
B. Perlawanan sesudah tahun 1800
† Tidak banyak perbedaan dengan perlawanan sebelum tahun 1800, yang hanya dilakukan secara kedaerahan dan sedikit ditandai dengan persaingan memperebutkan hegemoni antara kerajaan – kerajaan tersebut.
Bentuk – bentuk perlawanan rakyat Indonesia :
1. Perlawanan sultan Nuku (Tidore)
Sultan Nuku adalah raja dari Kesultanan Tidore yang berhasil meningkatkan kekuatan perangnya hingga 200 kapal perang dan 6000 pasukan untuk menghadapi Belanda. Selain itu dia juga menjalankan perjuangan melalui diplomasi. Untuk menghadapi Belanda , dia mengadakan hubungan dengan Inggris untuk meminta bantuan dan dukungan. Dia mengadu domba antara Inggris – Belanda. Pada 20 Juni 1801 dia berhasil membebaskan kota Soa – Siu dari Belanda, akhirnya Maluku Utara dapat dipersatukan di bawah kekuasaan Sultan Nuku.
2. Pelawanan Pattimura (1817)
Dimulai dengan penyerangan terhadap benteng Duurstede di Saparua, dan berhasil merebut benteng tersebut dari tangan Belanda. Perlawanan ini meluas ke Ambon, Seram, dan tempat – tempat lainnya. Untuk menghadapi serangan tersebut, Belanda harus mengerahkan seluruh kekuatannya yang berada di Maluku.
Akhirnya Pattimura berhasil ditangkap dalam suatu pertempuran dan pada 16 Desember 1817, dia dan kawan – kawannya dihukum mati di tiang gantungan. Perlawanan lainnya dilakukan oleh pahlawan wanita, Martha Christina Tiahahu.
3. Perang Paderi (1821 – 1837)
Dilatar belakangi konflik antara kaum agama dan tokoh – tokoh adat Sumatera Barat. Kaum agama (Pembaru/Paderi) berusaha untuk mengajarkan Islam kepada warga sambil menghapus adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, yang bertujuan untuk memurnikan Islam di wilayah Sumatra Barat serta menentang aspek – aspek budaya yang bertentangan dengan aqidah Islam.
Tujuan ini tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena kaum adat yang tidak ingin kehilangan kedudukannya, serta adat istiadatnya menentang ajaran kaum Paderi, perbedaan pandangan ini menyebabkan perang saudara serta mengundang kekuatan Inggris dan Belanda.
Kaum adat yang terdesak saat perang kemudian meminta bantuan kepada Inggris yang sejak 1795 telah menguasai Padang, dan beberapa daerah di pesisir barat setelah direbut dari Belanda. Golongan agama pada saat itu telah menguasai daerah pedalaman Sumatra Barat dan menjalankan pemerintahan berdasarkan agama.
Pada tahun 1819, Belanda menerima Padang dan daerah sekitarnya dari Inggris. Golongan adat meminta bantuan kepada Belanda dalam menghadapi golongan Paderi. Pada Februari 1821, kedua belah pihak menandatangani perjanjian. Sesuai perjanjian tersebut Belanda mulai mengerahkan pasukannya untuk menyerang kaum Paderi.
Pertempuran pertama terjadi pada April 1821 di daerah Sulit air, dekat danau Singkarak, Solok. Belanda berhasil menguasai Pagarruyung, bekas kedudukan kerajaan Minangkabau, namun gagal merebut pertahanan Paderi di Lintau, Sawah Lunto dan Kapau, Bukittinggi. Untuk mensiasati hal ini, belanda mengajak berunding Tuanku Imam Bonjol (pemimpin Paderi) pada 1824, namun perjanjian dilanggar oleh Belanda.
Saat pertempuran Diponegoro, Belanda menarik pasukannya di Sumatra Barat untuk menunda penyerangan pada kaum Paderi, dan memusatkan perhatian di Sumatra Barat untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol.
Dengan serangan yang gencar, kota Bonjol jatuh ke tangan Belanda pada September 1832, dan pada 11 Januari 1833, dapat direbut kembali oleh kaum Paderi. Pertempuran berkobar di mana – mana, dan golongan adat berbalik melawan. Sehingga Belanda memerintahkan Sentot Alibasha Prawirodirjo (bekas panglima perang diponegoro) untuk memerangi Paderi, tetapi tidak mau dan bekerja sama dengan kaum Paderi.
Pada 25 Oktober 1833, Belanda melakukan Maklumat Plakat Panjang, yang berisi ajakan kepada penduduk Sumatra Barat untuk berdamai dan menghentikan perang. Namun pada Juni 1834, Belanda kembali menyerang kaum Paderi. Pada 16 Agustus 1837, Tuanku Imam Bonjol jatuh ke tangan Belanda, dan berhasil meloloskan diri.
Pada 25 Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol berunding di Palupuh. Namun Belanda berhianat dengan menangkap dan membuangnya ke Cianjur, Ambon, dan terakhir kota dekat Manado. Dia wafat pada usia 92 tahun dan dimakamkan di Tomohon, Sulawesi Utara.
4. Perang Diponegoro (1825 – 1830)
Penyebab perang ini adalah rasa tidak puas masyarakat terhadap kebijakan – kebijakan yang dijalankan pemerintah Belanda di kesultanan Yogyakarta. Belanda seenaknya mencampuri urusan intern kesultanan. Akibatnya, di Keraton Mataram terbentuk 2 kelompok, pro dan anti Belanda.
Pada pemerintahan Sultan HB V, Pangeran Diponegoro diangkat menjadi anggota Dewan Perwalian. Namun dia jarang diajak bicara karena sikapnya yang kritis terhadap kehidupan keraton yang dianggapnya terpengaruh budaya barat dan intervensi Belanda. Oleh karena itu, dia pergi dari keraton dan menetap di Tegalrejo.
Di mata Belanda, Diponegoro adalah orang yang berbahaya. Suatu ketika, Belanda akan membuat jalan Yogyakarta – Magelang. Jalan tersebut menembus makam leluhur Diponegoro di Tegalrejo. Dia marah dan mengganti patok penanda jalan dengan tombak. Belanda menjawab dengan mengirim pasukan ke Tegalrejo pada 25 Juni 1825.
Diponegoro dan pasukannya membangun pertahanan di Selarong. Dia mendapat berbagai dukungan dari daerah – daerah. Tokoh – tokoh yang bergabung antara lain : Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasha Prawirodirjo, dan Kyai Maja. Oleh karena itu Belanda mendatangkan pasukan dari Sumatra Barat dan Sulawesi Utara yang dipimpin Jendral Marcus de Kock.
Sampai 1826, Diponegoro memperoleh kemenangan. Untuk melawannya, Belanda melakukan taktik benteng Stelsel. Sejak 1826, kekuatannya berkurang karena banyak pengikutnya yang ditangkap dan gugur dalam pertempuran. Pada November 1828, Kyai Maja ditangkap Belanda. Sementara Sentot Alibasha menyerah pada Oktober 1829.
Jendral De Kock memerintahkan Kolonel Cleerens untuk mencari kontak dengan Diponegoro. Pada 28 Maret 1830, dilangsungkan perundingan antara Jendral De Kock dengan Diponegoro di kantor karesidenan Kedu, Magelang. Namun Belanda berhianat, Diponegoro dan pengikutnya ditangkap, dia dibuang ke Manado dan Makasar. Dengan demikian, berakhirlah perang Diponegoro.
5. Perang Aceh
Aceh dihormati oleh Inggris dan Belanda melalui Traktat London pada 1824, karena Terusan Suez diuka, yang menyebabkan kedudukan Aceh menjadi Strategis di Selat Malaka dan menjadi incaran bangsa barat. Untuk mengantisipasi hal itu, Belanda dan Inggris menandatangani Traktat Sumatra pada 1871.
Melihat gelagat ini, Aceh mencari bantuan ke luar negeri. Belanda yang merasa takut disaingi menuntut Aceh untuk mengakui kedaulatannya di Nusantara. Namun Aceh menolaknya, sehingga Belanda mengirim pasukannya ke Kutaraja yang dipimpin oleh Mayor Jendral J.H.R Kohler. Penyerangan tersebut gagal dan Jendral J.H.R Kohler tewas di depan Masjid Raya Aceh.
Serangan ke – 2 dilakukan pada Desember 1873 dan berhasil merebut Istana kerajaan Aceh di bawah pimpinan Letnan Jendral Van Swieten. Walaupun telah dikuasai secara militer, Aceh secara keseluruhan belum dapat ditaklukkan. Oleh karena itu, Belanda mengirim Snouck Hurgronye untuk menyelidiki masyarakat Aceh.
Pada 1891, Aceh kehilangan Teuku Cik Ditiro, lalu pada 1893, Teuku Umar menyerah kepada Belanda, namun pada Maret 1896, ia kabur dan bergabung dengan para pejuang dengan membawa sejumlah uang dan senjata. Pada 11 Februari 1899, Teuku Umar tewas di Meulaboh. Kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh istrinya, Cut Nyak Dhien.
Pada November 1902, Belanda menangkap 2 isteri Sultan Daudsyah dan anak – anaknya. Belanda memberi 2 pilihan, menyerah atau keluarganya dibuang. Lalu pada 1 Januari 1903, Sultan Daudsyah menyerah. Demikian pula Panglima Polim pada September 1903.
Pada 1905, Cut Nyak Dhien tertangkap di hutan, Cut Nyak Meutia gugur pada 1910. Baru pada 1912, perang Aceh benar – benar berakhir.
6. Perang Bali
Pulau Bali dikuasai oleh kerajaan Klungkung yang mengadakan perjanjian dengan Belanda pada 1841 yang menyatakan bahwa kerajaan Klungkung di bawah pemerintahan Raja Dewa Agung Putera adalah suatu negara yang bebas dari kekuasaan Belanda.
Pada 1844, perhu dagang Belanda terdampar di Prancak, wilayah kerajaan Buleleng dan terkena hukum Tawan Karang yang memihak penguasa kerajaan untuk menguasai kapal dan isinya. Pada 1848, Belanda menyerang kerajaan Buleleng, namun gagal.
Serangan ke – 2 pada 1849, di bawah pimpinan Jendral Mayor A.V Michies dan Van Swieeten berhasil merbut benteng kerajaan Buleleng di Jagaraga. Pertempuran ini diberi nama Puputan Jagaraga.
Setelah Buleleng ditaklukkan, banyak terjadi perang puputan antara kerajaan – kerajaan Bali dengan Belanda untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan. Diantaranya Puputan Badung (1906), Puputan Kusamba (1908), dan Puputan Klungkung (1908).
7. Perang Banjarmasin
Sultan Adam menyatakan secara resmi hubungan kerajaan Banjarmasin – Belanda pada 1826 sampai beliau meninggal pada tahun 1857. sepeninggal Sultan Adam, terjadi perebutan kekuasaan oleh 3 kelompok :
▪ Kelompok Pangeran Tamjid Illah, cucu Sultan Adam.
▪ Kelompok Pangeran Anom, Putra Sultan Adam.
▪ Kelompok Pangeran Hidayatullah, cucu Sultan Adam.
Di tengah kekacauan tersebut, terjadi perang Banjarmasin pada 1859 yang dipimpin Pangeran Antasari, seorang putra Sultan Muhammad yang anti Belanda. Dalam melawan Belanda, Pangeran Antasari dibantu oleh Pangeran Hidayatullah.
Pada 1862, Pangeran Hidayatullah ditangkap dan dibuang ke Cianjur. Dalam pertempuran dengan Belanda pada tahun tersebut, Pangeran Antasari tewas.
0 comments :
Post a Comment
Thanks for Ur Comment